Kamis, Januari 01, 2009

1 Muharram Bukan 1 Suro

Tanggal 29 Desember 2008 kemarin bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1430 H yang merupakan tahun baru dalam kalender Islam.

Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriah dilakukan 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab yang menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.

Namun selain tahun baru hijriah tanggal tersebut juga merupakan tahun baru dalam sistem Kalender Jawa yang lebih dikenal dengan tanggal 1 suro yang penanggalannya merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa. 1 suro merupakan penanggalan Islam yang di-Jawa-kan oleh Sultan Agung dengan maksud agar mempermudah dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.

Dalam dua peristiwa pergantian tahun tersebut tampak penyambutan yang boleh dikatakan bertolak belakang. Apabila dalam pergantian tahun Hijriah dihiasi dengan perenungan, instropeksi diri ( Muhasabah ) apa yang telah dilalui dan dicapai selama setahun ke belakang dan program-program yang akan dijalankan baik program dalam konteks pribadi, keluarga maupun pekerjaan. Lain halnya dalam penyambutan tahun baru jawa yang lebih dikenal dengan 1 suro tersebut banyak kegiatan atau ritual-ritual yang katanya peninggalan leluhur dan berdalih pelestarian budaya namun bertolak belakang dengan nilai-nilai ke-islaman.

1 Suro oleh ulama-ulama terdahulu di Jawa dimaksudkan sebagai wacana introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan oleh umat Islam selama setahun terakhir. Tetapi berhubung belum semua masyarakat Jawa mengenal Islam secara baik, maka ritual-ritual yang mereka lakukan, yang sebenarnya tidak ada ajarannya dalam Islam mereka bawa-bawa. Seperti memandikan barang pusaka, laku ritual adat terhadap nenek moyang, meminta berkah di tempat-tempat keramat atau makam ulama/kyai dll. Yang lebih bodoh lagi adalah mengarak “Kebo Bule (kerbau bule) ” yang mana kotoran yang pada jatuh di jalan diperebutkan yang katanya dapat membawa keberkahan, yang kesemuanya itu merupakan ritual yang mengandung unsur syirik, sungguh miris.

Masalahnya, banyak sekali media, terutama pemberitaan televisi yang menyamakan saja peringatan 1 Muharram yang berasal dari kalender Hijriyah dengan peringatan 1 Suro yang mengikuti perhitungan kalender tahun Çaka. Misalnya, kirab di Keraton Jogja dan Solo serta ritual Jamasan (mencuci benda-benda pusaka) dianggap sebagai rangkaian upacara dalam memperingati Tahun Baru Islam, Hijriyah. Padahal, upacara-upacara adat itu, secara asal-usul budaya, sama sekali bukan dalam memperingati tahun baru Islam, melainkan memperingatai than barun Çaka yang memang selalu jatuh hampir bersamaan dengan kalender Hijriyah.
Kesalahan persepsi itu berakibat cukup fatal. Aroma sinkretisme sengaja dibangun kembali seolah-olah Islam membolehkan praktik-praktik upacara semacam itu. Media membentuk opini bahwa upacara-upacara itu merupakan bagian dari tradisi Islam, padahal sama sekali berbeda.

Marilah di tahun yang baru ini kita bersihkan diri, bersihkan jiwa dan akidah kita untuk tidak dinodai oleh kemusyrikan yang akan menyesatkan kita di hari akhir nanti, karena kita ketahui bahwa syirik merupakan dosa yang teramat besar karena bentuk pengingkaran kita terhadap Alloh atas segala ciptaan-Nya yang dianugrahkannya kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar